Dpr Mpr Dprd Dpd Merupakan Bagian Dari

Dpr Mpr Dprd Dpd Merupakan Bagian Dari

Besaran Gaji MPR, DPR, DPD

Dalam sistem pemerintahan Indonesia, anggota MPR, DPR, dan DPD memiliki gaji dan tunjangan yang diatur oleh peraturan pemerintah. Berikut adalah rincian gaji pokok dan tunjangan masing-masing lembaga.

Wewenang dan Tugas DPD

Menurut Pasal 249 UU 17/2014, wewenang dan tugas DPD antara lain:

Gaji dan Tunjangan Anggota DPD RI

Anggota DPD RI juga memiliki gaji pokok yang sama dengan anggota DPR, yaitu:

• Ketua DPD : Rp 5.040.000• Wakil Ketua DPD : Rp 4.620.000• Anggota DPD : Rp 4.200.000

Anggota DPD menerima beberapa jenis tunjangan, antara lain:

1. Tunjangan Melekat:

• Tunjangan suami/istri: Rp 420.000• Tunjangan anak: Rp 84.000 per anak (maksimal dua anak)• Tunjangan jabatan: Rp 9.700.000• Tunjangan beras: Rp 30.090 per jiwa

• Tunjangan kehormatan: Rp 5.580.000• Tunjangan komunikasi: Rp 15.554.000• Bantuan listrik dan telepon: Rp 7.700.000

• Uang harian daerah tingkat I: Rp 5.000.000 per hari• Uang harian daerah tingkat II: Rp 4.000.000 per hari

Anggota DPD juga mendapatkan fasilitas untuk pemeliharaan rumah dinas dan perlengkapan rumah.

Gaji dan Tunjangan Anggota DPR RI

Anggota DPR menerima gaji pokok yang bervariasi berdasarkan jabatannya, sebagai berikut:

• Ketua DPR : Rp 5.040.000• Wakil Ketua DPR : Rp 4.620.000• Anggota DPR : Rp 4.200.000

Anggota DPR juga mendapatkan berbagai tunjangan yang sesuai dengan jabatan mereka:

1. Tunjangan Jabatan:

• Anggota DPR: Rp 9.700.000• Anggota DPR merangkap Wakil Ketua: Rp 15.600.000• Anggota DPR merangkap Ketua: Rp 18.900.000

2. Tunjangan Kehormatan:

• Anggota DPR: Rp 5.580.000• Anggota DPR merangkap Wakil Ketua: Rp 6.450.000• Anggota DPR merangkap Ketua: Rp 6.690.000

3. Tunjangan Komunikasi:

• Anggota DPR: Rp 15.554.000• Anggota DPR merangkap Wakil Ketua: Rp 16.009.000• Anggota DPR merangkap Ketua: Rp 16.468.000

4. Tunjangan Lainnya:

• Tunjangan istri: 10% dari gaji pokok• Tunjangan anak: 2% dari gaji pokok per anak (maksimal dua anak)• Tunjangan beras: Rp 30.090 per jiwa• Uang sidang: Rp 2.000.000

- Partai Golkar telah membuat keputusan resmi untuk mengganti Mahyudin sebagai Wakil Ketua MPR. Penggantinya adalah Titiek Soeharto. Proses penggantian pimpinan MPR mengingatkan kita pada upaya penggantian pimpinan DPR dan DPD sebelumnya.

Di DPR beberapa kali terjadi drama penggantian pimpinan. Mulai dari cerita Setya Novanto digantikan oleh Ade Komaruddin, dan kembalinya Setya Novanto ke posisi semula sebagai Ketua DPR. Cerita tersebut berlanjut hingga penetapan Setya Novanto sebagai tersangka, mengundurkan diri untuk kedua kalinya, dan Partai Golkar menggantinya dengan Bambang Soesatyo sebagai Ketua DPR.

Pada saat itu, tidak ada upaya hukum untuk melawan keputusan partai. Semua penuh kerelaan untuk menerima pengusulan partai untuk diganti/mengganti sebagai pimpinan DPR. Berbeda dengan Mahyudin yang tidak mau mengundurkan diri, dan akan melawan keputusan partai. Ceritanya bisa jadi akan sama dengan cerita antara PKS dengan Fahri Hamzah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fahri Hamzah melawan keputusan PKS untuk diganti sebagai Wakil Ketua DPR. Hingga saat ini Fahri Hamzah tetap langgeng, dan upaya hukumnya berhasil hingga tingkat pengadilan tinggi. Saat ini gugatan perbuatan melawan hukum tersebut berada pada proses kasasi dan belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Di DPD, setelah Irman Gusman ditetapkan sebagai tersangka, gejolak terjadi. Drama di DPD juga berujung pada upaya hukum. Di DPD seluruh paket pimpinan berganti dan kini DPD dipimpin oleh Osman Sapta Odang. Entah sampai mana cerita upaya hukum yang dilakukan oleh Farouk Muhammad dan Ratu Hemas.

Jadi cerita bongkar pasang paket pimpinan MPR, DPR, dan DPD telah beberapa kali terjadi, dan terjadi pada semua kamar parlemen.

Sebab pimpinan MPR, DPR, dan DPD berhenti dari jabatannya sama yaitu karena meninggal dunia, mengundurkan diri, berhenti sebagai anggota, atau diberhentikan. Jika pimpinan MPR, DPR, dan DPD meninggal dunia atau mengundurkan diri, tentu tidak ada cerita perlawanan hukum karena kedua sebab tersebut mengandung kerelaan hati dan berhalangan tetap untuk melaksanakan tugas pimpinan. Sehingga sebenarnya yang menjadi sebab keributan di parlemen adalah karena adanya proses pemberhentian, dan pimpinan yang bersangkutan tidak mau digantikan.

Ketiga kamar parlemen tersebut mengatur hal berbeda mengenai kondisi objektif proses pemberhentian pimpinan. Di MPR, pimpinan diberhentikan bila diberhentikan sebagai anggota DPR atau anggota DPD, atau tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan, atau berhalangan tetap sebagai pimpinan MPR.

Sedangkan di DPR, pimpinannya diberhentikan apabila tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun, melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan keputusan rapat paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh MKD DPR, dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, ditarik keanggotaannya sebagai anggota DPR oleh partai politiknya, melanggar larangan dan diberhentikan sebagai anggota partai politik.

Untuk DPD sendiri, pemberhentian dilakukan jika terdapat kondisi pimpinan meninggal dunia, tidak dapat melaksanakan tugas dan melanggar sumpah/janji jabatan serta kode etik.

Jadi, kerangka hukum dan sebab pemberhentian pimpinan MPR, DPR, dan DPD seperti itulah adanya tertulis. Dikaitkan dengan keputusan Golkar untuk mengganti Mahyudin dengan Titiek Soeharto sebagai Wakil Ketua MPR, pasti kita akan mudah mendapatkan jawaban bahwa secara normatif memang tidak terdapat alasan dan kondisi yang membenarkan untuk menggantikan Mahyudin. Jadi ketentuan pengusulan penggantian pimpinan oleh partai politik tidak terdapat di MPR. Seperti saat Partai Golkar mengusulkan menarik Ade Komaruddin sebagai Ketua DPR untuk digantikan oleh Setya Novanto.

Adanya ketentuan di DPR yang dapat menarik sewaktu-waktu pimpinan berdasarkan usulan partai politik yang mengusulkannya akan menciptakan ketidakpastian hukum dan turbulensi politik yang dapat mengganggu fokus lembaga parlemen.

Seharusnya dengan paket pimpinan yang bersifat tetap, selain ditafsirkan jatah pimpinan merupakan hak fraksi yang memenangkan proses pemilihan pada saat paripurna, demi kepastian hukum dan konsekuensi sifat pemilihan pimpinan, maka frasa bersifat tetap harus ditafsirkan juga bahwa masa jabatan pimpinan DPR yang dipilih dalam paripurna bersifat tetap, pimpinan DPR menjabat 1 (satu) periode selama 5 (lima) tahun dan tidak berganti-ganti tanpa alasan yang dapat diterima oleh hukum.

Akan tetapi, usulan untuk menarik pimpinan DPR tidak semuanya berhasil. Seperti diketahui umum, walaupun Fahri Hamzah diusulkan untuk diganti oleh PKS, hingga kini tetap langgeng menduduki kursi Wakil Ketua DPR karena selain dukungan politik internal yang kuat di DPR, Fahri Hamzah juga memenangkan gugatan perbuatan melawan hukum.

Terakhir, memang tidak terdapat sebab untuk melakukan penggantian terhadap Mahyudin sebagai salah satu pimpinan MPR. Akan tetapi, pilihannya tetap kembali pada Mahyudin pribadi. Apakah mengikuti jejak Ade Komaruddin yang penuh dengan kebesaran jiwa atau mengikuti jejak perlawanan Fahri Hamzah terhadap partainya.

Satu hal yang perlu tetap diingat dan dipertimbangkan oleh Mahyudin, walaupun tidak ada sebab untuk menggantikannya, Partai Golkar yang memiliki perpanjangan tangan fraksi di MPR tetap tidak kehilangan hak untuk mengatur internal fraksinya. Termasuk namun tidak terbatas pada siapa yang ditunjuk untuk menduduki kursi Wakil Ketua MPR untuk menggantikannya. Mulusnya pelaksanaan kebijakan fraksi di parlemen faktanya tetap menjadi faktor yang dapat mengoptimalkan kinerja MPR dan anggotanya.

Indonesia sebagai negara demokrasi, tentunya memiliki sistem pemerintahan yang mengandalkan peran lembaga legislatif dalam mengambil keputusan politik. Hingga kini, terdapat empat lembaga legislatif yang memiliki peran penting dalam tatanan pemerintahan negara ini, yakni MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).

Melansir dari laman resmi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, dalam sistem pemerintahan, lembaga legislatif memegang peran yang sangat krusial dalam proses pembentukan undang-undang dan pengawasan terhadap pelaksanaannya. Pemisahan kedudukan pada lembaga legislatif diperlukan agar perannya sebagai lembaga yang transparan dan responsif terhadap masyarakat dapat maksimal.

Selain itu, lembaga legislatif juga bertujuan untuk memperkuat serta memelihara prinsip-prinsip demokrasi sambil menjadi perwakilan sah dari suara rakyat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lantas, bagaimana kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dalam menjalankan tugas dan wewenangnya?

Berikut merupakan kedudukan serta tugas dan wewenang dari MPR, DPR, DPRD, dan DPRD berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 17/2014)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Kedudukan DPR diatur dalam Pasal 68 UU 17/2014 bahwa "DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara."

Anggota DPR menurut Pasal 67 UU 17/2014 terdiri dari atas anggota partai politik peserta Pemilu, yang dipilih melalui Pemilu.

Dalam pasal 84 Ayat 1 juga telah dijelaskan tentang pimpinan DPR. "Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR."

Menurut Pasal 69 UU 17/2014, fungsi DPR adalah

Menurut Pasal 71 UU 17/2014, wewenang DPR adalah antara lain:

Gaji dan Tunjangan Anggota MPR RI

Gaji anggota MPR diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 75/2000 tentang Gaji Pokok Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Anggota Lembaga Tinggi Negara Serta Uang Kehormatan Anggota Lembaga Tertinggi Negara.

• Ketua MPR : Rp 5.040.000• Wakil Ketua MPR : Rp 4.620.000• Anggota MPR : Rp 4.200.000

Adapun anggota MPR yang tidak merangkap memperoleh uang kehormatan sebesar Rp 1.750.000.

Sama seperti anggota DPR, anggota MPR juga mendapatkan tunjangan yang mencakup:

• Tunjangan istri: 10% dari gaji pokok• Tunjangan anak: 2% dari gaji pokok per anak (maksimal dua anak)• Uang sidang: Rp 2.000.000• Tunjangan jabatan: Rp 18.900.000

Anggota MPR juga mendapatkan berbagai fasilitas seperti rumah dinas dan kendaraan dinas untuk mendukung tugas mereka.

Dengan semua tunjangan, gaji Ketua MPR bisa mencapai sekitar Rp 59,3 juta per bulan.

Gaji dan tunjangan yang diterima oleh anggota MPR, DPR, dan DPD RI mencerminkan tanggung jawab besar yang mereka emban sebagai wakil rakyat. Dengan adanya berbagai tunjangan dan fasilitas, diharapkan anggota dewan dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan lebih baik demi kepentingan masyarakat.

Artikel ini ditulis oleh Ni Komang Nartini peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Kedudukan MPR diatur dalam Pasal 2 UU 17/2014 bahwa "MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara."

Dalam Pasal 1 UU 17/2014, disebutkan MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui Pemilu.

Sedangkan wewenang MPR menurut Pasal 4 UU 17/2014 adalah:

Tugas MPR termaktub dalam Pasal 5 UU 17/2014, yakni:

Selain itu, perubahan tentang pimpinan MPR diatur dalam UU RI Nomor 13 Tahun 2019 Tentang Perubahan Ketiga atas UU 17/2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

UU 13/2019 tersebut merevisi soal pimpinan MPR jadi 10 orang. Pada pasal 15 ayat 1 sampai dengan ayat 10 dengan penjelasan bagaimana pemilihan pimpinan MPR, yang terdiri dari ketua dan wakil ketua, yang diwakili oleh fraksi dan kelompok anggota MPR. Dalam UU 12/2019 ini diatur MPR memiliki 1 ketua dan 9 wakil yang di antaranya diwakili dari masing-masing fraksi.

Fasilitas dan Biaya Perjalanan

Anggota DPR juga mendapatkan fasilitas seperti rumah jabatan, perlengkapan rumah, dan tunjangan untuk biaya perjalanan, termasuk:• Uang harian daerah tingkat I: Rp 5.000.000• Uang harian daerah tingkat II: Rp 4.000.000

Jika ditotal, gaji Ketua DPR dapat mencapai lebih dari Rp 59 juta per bulan dengan semua tunjangan dan fasilitas yang diterima.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Kedudukan DPRD Provinsi diatur dalam Pasal 315 UU 17/2014 yang menyebutkan bahwa "DPRD provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah provinsi."

DPRD kabupaten/kota diatur dalam Pasal 364 UU 17/2014 yang menyebutkan bahwa "DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota".

Fungsi, wewenang dan tugas DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten sebenarnya sama dengan DPR, namun DPRD bekerja dalam tingkat provinsi dan kabupaten/kota bersama pimpinan provinsi dan kabupaten/kota.

Begitulah susunan kedudukan dari MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang dapat diulas. Semoga membantu!

Kamu mungkin sering mendengar istilah MPR, DPR, dan DPD dalam konteks pemerintahan di Indonesia. Ingatkah kamu apa kepanjangan MPR, DPR, dan DPD?

MPR, DPR dan DPD merupakan lembaga legislatif di Indonesia. Masing-masing mempunyai peran atau tugas untuk kepentingan negara yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

DPR dan DPD dipilih oleh rakyat lewat pemilihan umum, sedangkan MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD yang juga dipilih melalui pemilihan umum.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT